Posted in Search Me

Thank you, Yesterday – I Found Myself!

#ThankyouYesterday

filmdaily.co

Kemarin, it’s mean the days before today, include semua hal yang pernah gue lalui. I’ll never know who really I am today, kalau bukan karena kemarin. I’ll never know how to treat myself better, and I can’t find the way to choose myself more than anything. Gue nggak akan se-mengerti hari ini; tentang bagaimana seharusnya gue memanusiakan diri sendiri sebelum memanusiakan orang lain.

Mungkin ada orang-orang yang mengenal gue sebelumnya bilang: “Kamu berubah sekarang”, “Kamu beda”, “You’re not the same person I know”. But I’m so sorry, I don’t change and never. Gue yang sekarang hanya lebih sensible terhadap diri sendiri dan kalian sedang bertemu dengan how truly I am. Orang-orang bilang gue berubah karena first impression mereka setelah lama nggak ketemu gue itu seperti, ‘is it really you?’. Impression mereka yang berbeda, bukan gue.

Waktu kecil gue sering nonton Disney Princess seperti Cinderella, Snow White, Beauty and The Beast, Sleeping Beauty, and others. Gue juga punya koleksi film Barbie yang ceritanya joyful. Dari sana gue punya keinginan untuk memiliki cerita yang sama. Gue ingin seperti Snow White yang diselamatkan Pangeran Florian, atau Cinderella yang dicintai apa adanya oleh Pangeran Henry, atau Jasmine yang bertemu Aladdin. Hahaha, weird. But it will be awesome dalam bayangan anak seusia gue waktu itu.

Ketika awal-awal gue jatuh cinta kepada lawan jenis, gue nggak sempat menggunakan logika. Cinta ya cinta, you must fight with what is your own heart wants and you will be happy in the end. Mencapai target akademik juga gue selalu memastikan hasil yang terbaik. Berteman dengan banyak orang pun gue pikir it’s for a long time. Tapi setelah gue bertemu dengan beberapa hal yang out lines, gue mulai mengerti bahwa kenyataan nggak selalu sama dengan keinginan. Ibaratnya kalian ingin A, tapi sebenarnya hal yang kalian butuhkan itu B, jadi kadang kenyataan yang terjadi adalah B.

What you want is ‘A’, but what actually you need is ‘B’, then what you get is ‘B’.

Seringkali gue berhasil mendapatkan apa yang menjadi tujuan gue dan memberi makan untuk ekspektasi pribadi serta orang-orang terhadap gue. Ketika suatu hari gue gagal, gue nggak bisa menerimanya. I really can’t face the failure. Gue merasa sangat bodoh dan useless saat itu. Biar Albert Einstein dan Thomas Alfa Edison bicara tentang hebatnya kegagalan dalam hidupnya, biar Soichiro Honda bilang kesuksesannya berasal dari 99% kegagalan, I don’t care. Gue hanya peduli caranya mengutuk diri sendiri. Gue sama sekali nggak terpengaruh dengan motivational quotes dan hal-hal sejenisnya. Terdengar membosankan, bagi gue.

Pelan-pelan waktu mengajarkan kepada gue tentang dua pilihan; gagal dan perbaiki, atau gagal dan berhasil dalam hal lain. Ekspektasi terhadap diri sendiri juga termasuk harus siap menerima rasa kecewa.

There’s a point in here; gue adalah orang paling bebal dalam hal personality. Misalkan tentang perjalanan religiusitas gue, permasalahan yang gue hadapi, hubungan gue dengan manusia lainnya. Gue paling nggak bisa yang namanya ditekan untuk keharusan ini dan itu. Percuma, kalau perintah itu bukan berasal dari dalam diri gue sendiri. Itu kenapa sekarang kalau teman-teman gue cerita tentang masalahnya, gue nggak bilang ‘lo harusnya begini, lo nggak boleh begitu’. Gue nggak push dia untuk melakukan keharusan yang otak gue pikirkan. Gue hanya akan memberikan perumpamaan dan bertanya tentang beberapa hal yang bisa membantu jalan pikirnya. Peran gue sebatas mengarahkan dia untuk memutuskan segalanya sendiri.

Gue selalu bilang ke mereka: “Gue nggak akan banyak komentar di sini. This is your problem, selesaikan sendiri”.

Karena menurut gue pribadi, apa yang terjadi dalam hidup seseorang, it’s their own business. Seseorang itu yang paling tahu detail masalahnya, apa yang dia rasakan dan langkah penyelesaian dari masalah tersebut. Cuma mungkin seseorang sering merasa stuck untuk berpikir sendiri, entah karena terlalu larut dalam perasaannya atau memang tipikal problem-solver yang complicated, sehingga dia membutuhkan orang lain untuk membantunya berpikir lebih baik.

I thought, orang-orang yang ‘kelihatannya’ tulus, menjadi pendengar yang baik, dan melewati banyak hal sama gue, they are my best friend. Tapi what you see is not always what it seems; apa yang ‘kelihatannya’ belum tentu memang seperti yang terlihat. Sedari awal gue memang tipikal orang yang susah dekat dan berteman baik dengan orang lain, kemudian setelah gue paham betul tentang konteks pertemanan (what does friendship mean), gue merasa kalau sebenarnya it’s not a piece of cake. Orang-orang terbaik yang loyal dan bisa stay a long sama gue sampai hari ini, itu bisa dihitung dalam lima jari. Karena di usia 20-an gue berpikir lebih logis untuk menempatkan siapa saja dan porsinya di dalam hidup gue.

I have many friends, but I just have less than five best people for myself.

Banyak hal yang pernah pull down gue sampai gue menemukan diri gue yang sekarang, termasuk beberapa poin yang gue jelaskan sebelumnya. Selama proses itu gue sering merasa I’m nonentity. Gue sering kehilangan identitas diri sendiri. Putus asa sampai hampir gila rasanya. Gue sering merasa pressure yang gue terima terlalu berat. Enggak jarang gue insecure dengan hidup orang lain dan pemikiran tentang ‘betapa sempurnanya jadi mereka’. Bahkan gue judge diri sendiri sebagai manusia paling punya masalah dengan tingkat sadness terparah di bumi.

Suatu hari otak gue tiba-tiba mengeluarkan sebuah pertanyaan; “How I tell tomorrow about myself today?”. Gue nggak tahu jawabannya waktu itu. Kenal diri sendiri aja enggak, gimana gue mau jawab. Kemudian dari pertanyaan itu gue belajar bahwa punya integritas untuk mencintai diri sendiri itu sangat penting, dan gue nggak punya hal itu. Gue sibuk menyiksa diri dengan semua ekspektasi yang nggak ada habisnya. Gue pusing memikirkan banyak hal yang gue inginkan kedepannya, tanpa pernah berpikir kalau satu movement yang berasal dari dalam diri sendiri akan menjadi sangat berharga. Gue sibuk memikirkan impression dan omongan orang-orang tentang gue, sampai gue lupa dengan keberadaan self-esteem. Padahal setiap orang punya otoritas paling besar terhadap tubuh dan hidupnya.

As far I got my turning point that make me feel so thankful to yesterday, gue nggak pernah bilang: “Why does it happen to me?”, “Kenapa gue nggak punya apa yang mereka punya?”, “Kenapa gue harus mengenal kata gagal?”, “Kenapa gue harus cinta sama seseorang yang kenyataannya bukan ditakdirkan untuk gue?”, dan ada kenapa-kenapa lain yang se-ruang. Kalau katanya orang-orang, semua itu adalah bagian dari hidup dan proses kedewasaan seseorang. But that sound’s really boring. Gue nggak menemukan apa-apa dari kalimat itu. Just like, hidup ya memang seperti itu ada susah dan senangnya. Eerrr, I found nothing. Finally, gue menarik kesimpulan sendiri;

All the things that ever happened to me, that’s the way I find myself.

It takes a long time for me to fully recognized who truly I am. Hari ini gue berani mengatakan kepada semua orang, “Hey, this is me!”