Posted in Ngoceh tentang Manusia

Behind the Roles; menjadi Perempuan

“Perempuan nggak perlu sekolah tinggi-tinggi.”

“Buat apa sekolah? Ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga.”

“Tugas perempuan hanya di tiga tempat; dapur, sumur, dan kasur.”

Gue sering banget dengar ucapan sejenis itu dari orang-orang yang pernah gue temui. Seandainya kalimat itu adalah sianida, dan perempuan dipaksa untuk menelannya, bisa dipastikan populasi perempuan di Indonesia nggak akan sebanyak sekarang.

Sebelum-sebelumnya gue nggak peduli dengan roles perempuan. Gue hanya tahu perempuan adalah mereka yang menjalankan hak dan kewajiban sebagai manusia pada umumnya. Tapi makin hari, ternyata menjadi perempuan makin banyak demands dengan segudang ketentuan. Gue mengamati bagaimana perempuan mendapatkan impresi tentang harus begini dan begitu. Belum lagi masalah peran tradisi yang menempatkan perempuan dalam lingkup sumur, kasur, dan dapur. Bummer! I can’t find words how to say it.

The problem is, perempuan hanya manusia biasa yang berhak menentukan segala sesuatu dalam hidupnya. Gue yakin laki-laki juga punya problems tersendiri. But, i’m really sorry, karena gue belum pernah menelusuri secara detail bagaimana dunia laki-laki. Di sini gue hanya akan bicara panjang kali lebar tentang perempuan.

Pertama, perempuan sering diingatkan masalah pendidikan. Beberapa dari mereka memang merasa pendidikan adalah sesuatu hal yang sangat penting untuk dirinya sendiri dan untuk masa depannya kelak. Menuntut ilmu nggak ada batasnya. Selama seseorang itu mau dan mampu, kenapa harus dipermasalahkan? Perempuan melengkapi standar pendidikannya, salah. Perempuan nggak berpendidikan, dipandang sebelah mata. Kebiasaan deh, peduli banget sama hidup orang lain. Hidupnya sendiri apa kabar?

Ada stigma yang beredar di masyarakat, bahwa perempuan yang punya level pendidikan tinggi cenderung membuat laki-laki nggak berani untuk sekadar melirik. Perempuan yang terlalu banyak memikirkan karir di usia lebih dari 25 tahun juga cenderung sulit mendapatkan jodoh. Stigma itu membuat perempuan ditekan masalah pernikahan, lalu sebagai dampaknya perempuan mengalami gangguan psikologis dan kehilangan arah di dalam hidupnya.

Kedua, perempuan diributkan masalah pernikahan. Harus banget ya pertanyaan kapan menikah, calonnya mana, sampai hubungan ke akar-akarnya ditanyakan berulang kali? Si penanya mah enjoy, yang susah si penjawab. Bukan jawabannya yang jadi masalah, tapi jenis pertanyaan bercabang yang nggak ada ujungnya itu yang buat kesal setengah mati. Mungkin benar, ada kalanya sidang skripsi jauh lebih baik dari pada disidang masalah nikah.

Gue pernah bertemu teman masa kecil yang sebelumnya memutuskan untuk menikah muda. Kira-kira baru setahun duduk di bangku kuliah waktu itu. Orang-orang punya negative points tentang keputusan teman gue yang dipikir terlalu tiba-tiba. Seolah beberapa keputusan penting dalam hidup seseorang harus didengar banyak telinga. Perempuan menikah yang belum juga punya anak seringkali ditekan dengan pertanyaan kapan punya anak. Bahkan perempuan menikah yang memiliki pembantu kadang dipikir malas dan nggak teladan mengurus pekerjaan rumah.

Gue juga mendengar langsung cerita teman-teman gue yang menguatkan hati untuk bercerai dengan suaminya. Setelah menjadi janda dan terbebas dari hubungan yang toxic dan war-complicated, orang-orang menyalahkannya. Dibilang egois dan heartless karena hanya memikirkan diri sendiri dan nggak peduli dengan nasib anaknya. “Jadi perempuan itu harusnya punya hati yang pemaaf dan rajin-rajin mengalah dari suami”, begitu kata mereka yang berada di lingkungan sekitar. Bahkan banyak yang merasa waspada karena janda dinilai berpeluang menjadi pelakor. Enggak sedikit juga mereka yang memandangnya dengan rendah, seolah sudah nggak ada harganya sama sekali.

Ketiga, perempuan seringkali dijatuhkan oleh sesamanya.Teman baik gue yang magang sering menjadi topik hangat oleh rekan-rekannya yang lain. Sebentar-sebentar disindir di Group Chat dan dilaporkan kepada atasan. Image serba salah yang seharusnya nggak ada dibuat jadi sebuah masalah yang besar. Ada aturan yang seharusnya begini dan begitu yang sifatnya personal, seolah dibuat sendiri oleh pihak tertentu, lalu didukung oleh yang lainnya. Mama gue yang notabenenya terlalu baik dan selalu tebar senyum ramah nggak jarang jadi sasaran empuk dari orang-orang yang merasa iri, entah di tempat kerja atau di dalam lingkup keluarga sekali pun.

Perempuan yang pada dasarnya memang cantik dibilang sok cantik dan fake beauty karena perawatan wajah. Perempuan sering hang out dan belanja di Mall, dibilang pamer dan sok kaya. Perempuan yang seharusnya jauh lebih mengerti dengan keputusan dan pilihan hidup sesamanya, malah paling berpotensi untuk saling menjatuhkan. Enggak jarang, kita merasa paling benar dan terus-terusan memaksakan ekspektasi sampai membuat stigma buruk tentang sesama perempuan. Kita seringkali berpikir mereka yang menghancurkan diri sendiri, tanpa menyadari kalau ternyata kita punya peran besar dalam kehancuran itu.

Keempat, perempuan diatur masalah penampilan. Gue melihat langsung bagaimana seorang perempuan menjadi korban bullying karena ia buka-pasang jilbab. She’s muslim, and it’s her choice. Tapi orang-orang menghujat dengan mengatakan dosa jariyah. Sama halnya dengan Najwa Shihab yang sering dikritik masalah jilbab, hanya karena ia seorang muslim dan memiliki ayah seorang ulama. Personal reason seolah harus menjadi santapan publik. Belum lagi perempuan yang sudah berhijab malah dihujat tentang aturan pakai dan ukuran jilbabnya, sampai disuruh pakai cadar.

Tuntutan ‘sebagaimana seorang muslim seharusnya berpakaian’ hanya akan membuat perempuan kehilangan perjalanan religiusitasnya, tentang bagaimana ia akan meyakini agamanya dan keikhlasan dalam menjalankan kewajibannya. Pelan-pelan, akan ada waktunya di mana perempuan memahami betul tentang identitas dirinya sebagai seorang muslim.

Beberapa orang juga sibuk melakukan kritik pada model rambut perempuan dan cara berpakaiannya. Rambut diwarnai sesuka hati, dipikir nakal. Dipotong dengan model edgy pixie cut dan crop fringe, dikritik terlalu pendek. Belum lagi yang rambutnya dipangkas free style, panjang dan pendeknya nggak karuan. Perempuan lebih suka mengenakan celana dan terlihat casual, dibilang tomboy dan nggak mencerminkan ‘perempuan yang seharusnya’. Tampil feminim dengan pernak-pernik ‘khas perempuan’, dinilai terlalu show off dan menarik perhatian.

Oh jangan lupakan tentang drama skincare dalam dunia kecantikan. Ada aja yang ribut masalah satu ini. Perempuan pakai skincare mahal, dibilang kaya dan suka menghamburkan uang. Kadang sampai dijadikan guyonan sarkasme oleh mereka yang hobinya perhatian dengan hidup orang lain. Pakai skincare murah meriah, dibilang kere dan ketinggalan info kecantikan. Perempuan tanpa make up, dikatai nggak bisa merawat diri. Giliran sudah pakai make up sedikit, dibilang nggak natural.

Berpendidikan tinggi, diributkan. Perempuan mengejar karir, salah. Belum dapat kerjaan, ribut juga. Keluar rumah, dipikir liar. Diam di rumah, dibilang malas berkegiatan. Perempuan nggak nikah-nikah, dijadikan topik hangat. Perempuan nikah muda, dicurigai macam-macam. “Yang sedang-sedang saja makanya, jangan memancing opini negatif di tengah masyarakat”, kata mereka dengan santainya. Padahal face the music untuk berada di line ‘sedang-sedang saja’ itu sulit.

Ada juga yang mempermasalahkan bagaimana sebaiknya seseorang memilih ‘pasangan yang ideal’. “Laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik, begitu pula sebaliknya”, that’s the people’s point. Lalu ketika contohnya si A memilih si B yang kelihatannya freak, orang-orang sibuk menyalahkan dan mengatur seharusnya sama yang ini – bukan yang itu. How weird. Kalau semua orang memutuskan untuk mengikuti ekspektasi tentang ‘pasangan yang ideal’, mau diapakan mereka yang dinilai out lines? Lupa, ya, kalau Tuhan menciptakan manusia berpasangan tanpa memaksakan term dan conditionnya?

Ketika lo sibuk mengkritik mereka dengan kebebasan yang dipilihnya, nggak ada yang tahu kalau di baliknya mereka jauh lebih baik dari pada yang lo lihat.

Katanya, perempuan di mata laki-laki selalu benar. Dari sudut mana pembenarannya? Stigma tentang perempuan selalu benar terjadi karena si laki-laki sendiri yang membenarkan. Pada kenyataannya, perempuan seringkali berada dalam posisi yang disalahkan. Gue paling nggak relate kalau seseorang ada masalah sama pasangannya, then si laki-laki mengalah sambil bilang, “Ya udah, aku yang salah. Perempuan kan selalu benar.” Awalnya telinga gue biasa aja dengan kata-kata yang seperti itu. Tapi lama-lama bosan juga gue dengar. Kenapa nggak bilang, “Ayo, kita bicara baik-baik” atau “Calm down first, dan kita akan bicara setelah menenangkan diri masing-masing”. Begitu kan bisa. Jangan terus-terusan membenarkan kalau hati lo teriak salah.

Begini, antara perempuan, pendidikan, pernikahan, penampilan, dan pembenaran klise tentang diri mereka, nggak perlu terlalu dijadikan makanan lezat untuk dikonsumsi setiap saat. Terutama kepada kita yang sama-sama perempuan, jangan menjadikan aksi peduli terhadap sesama sebagai alasan untuk saling melukai dan menjatuhkan. For God’s sake, perempuan bukan diciptakan untuk memenuhi demands yang dimiliki orang-orang terhadap dirinya.

Perempuan mau tomboy atau feminim, modis atau simple, perempuan mau menikah kapan dan sama siapa, mau mengejar karir atau jadi ibu rumah tangga, mau jadi janda atau perawan tua, mau program punya anak sooner atau later, perempuan mau model rambut seperti apa, mau berprofesi sebagai siapa, perempuan mau suka Western atau Indian atau Korean, mau tinggal di kota atau di desa, perempuan mau pakai produk mahal yang bermerk atau produk murah di pasar, mau nonton di rumah atau pergi ke bioskop, mau fashion style ala selebgram atau rumahan,  etc.

Let women express themselves however they want. Let a woman being herself, with the roles and values she wants. Standar hidup dan perjalanan seorang perempuan dalam mencari jati dirinya, itu berbeda-beda. Kita nggak bisa mengharuskan mereka menjadi seperti yang kita inginkan. Sama dengan mereka yang nggak bisa mengharuskan kita menjadi pemuas keinginannya.

Author:

Thank you for being here, in my blog. Joy, love, peace, happiness, and God's protection are my wishes for you.

Leave a comment