Posted in Ngoceh tentang Manusia

Den

Episode NGOCEH kali ini sekaligus merupakan suatu wujud apresiasi untuk seorang cowok paling jujur yang gue kenal.

Den, namanya.

Malam itu di tengah taman kota, gue bertemu dia untuk yang pertama kali. Cowok jangkung yang kalau gue jalan sama dia kelihatan kayak kakak-adik, karena perbedaan tinggi badan. Cowok modis yang mungkin buat cewek-cewek langsung ingin digombalin sama dia. Kalau gue nggak salah ingat, berarti benar (Hehe becanda) waktu itu dia pakai jaket denim warna dark navy dipadukan dengan polo shirt warna putih.

Pertemuan pertama dengan berbagai cerita yang nggak pernah gue bayangkan sebelumnya. Dia jujur sama gue kalau dia adalah perokok aktif dan pernah menjadi anggota geng motor yang biasa mangkal sampai larut malam di pinggiran kota. Hidupnya berantakan. Ciri khas bad guy yang nggak baik sama sekali menurut sudut pandang banyak orang. Intinya dia punya jejak dalam sisi hidup yang gelap.

Gue seketika merasa insecure attachment begitu dia cerita tentang masa-masa itu. Seperti merasa nggak aman kalau berteman dengan dia. Mungkin karena gue tumbuh di lingkungan keluarga yang punya sederet aturan tentang pergaulan dan etika.

Dalam hati gue bilang, “Wah, anak nggak bener ini. Pasti hidupnya juga berantakan.”

Tapi proses kedewasaan dan pengalaman hidup membuat gue harus lebih menghargai siapa pun dan apa pun. Setiap keadaan yang terjadi dalam hidup seseorang pasti ada sebabnya.

Gue tanya sama dia, “Kenapa tiba-tiba jadi perokok?”

Dia malah tanya balik, “Kenapa memangnya? Bapakmu nggak suka cowok perokok?”

Yaaa gue jawab nggak tahu. Selain Bokap gue dan his biological brothers (Pakde, Paman) bukan perokok, gue belum pernah melihat reaksi bokap bertemu teman cowok gue yang perokok. Entah mungkin Den tahu apa yang sedang gue pikirkan. Jadi dia inisiatif sendiri untuk cerita tentang alasan di balik gelar bad guy yang dia punya.

Awalnya dia bukan perokok, apalagi anggota geng motor. Officially, no. Dia hidup dengan normal. I mean manusia baik yang disukai semua orang. Dengan banyak warna dan cahaya. Kemudian putih berubah hitam saat ayahnya pergi untuk selamanya. Dia kehilangan seorang pria paruh baya yang mungkin bagi anak laki-laki adalah panutan hidup yang luar biasa untuk masa depan mereka.

Gue ingat betul, dia cerita dengan santai waktu itu. Just like nothing’s happened. Tapi ketika matanya menatap gue, di sana gue sadar, ada bagian yang kosong dan nggak akan pernah terisi lagi di hatinya. Emptiness for an endless. Akhirnya gue paham, dia terluka karena keputusan semesta. Sisi gelap yang dia tempati merupakan pemberontakan yang dia lakukan atas kehilangan yang terjadi dalam hidupnya.

Waktu itu gue sempat tanya sama dia, “Ibu tahu nggak, tentang semuanya?”

Dia menggelengkan kepala, lalu bilang, “Ibu terlalu berharga untuk tahu gimana kelakuan buruk anaknya.”

I see how much he loved his parents, seriously.

Enggak lama setelah kepergian ayahnya, ibunya juga dipanggil oleh Sang Pencipta. Dia jauh lebih hancur. Satu-satunya yang tersisa malah ikut pergi untuk selamanya. Dia semakin melarikan diri dengan benda berasap yang membahayakan tubuh itu. Berada di jalanan kota sepanjang malam sudah nggak terhitung lagi.

Di dunia ini nggak ada orang yang bisa dengan mudah bertahan ketika mereka kehilangan cinta paling nyata dalam hidupnya. Terserah, mau cewek atau cowok. Sama aja. Hanya saja cara masing-masing kita menghadapi kehilangan itu yang berbeda. Ketika gue tanya kenapa dia harus melarikan diri ke hal-hal yang dipandang buruk oleh banyak orang, dia menjawab:

“Saya butuh ruang berbeda sebagai pengalihan dari rasa sakit akibat kehilangan itu. sebuah ruangan yang gila dengaan kebebasan. Mungkin beberapa orang bisa menangis berlarut-larut seperti perempuan dan punya hati setegar baja seperti laki-laki, tapi saya bukan mereka.” Den kemudian mengeluarkan sebatang rokoknya saat itu dan mulai menyulutnya. “Rokok ini adalah teman setia yang bisa membantu saya mengalihkan lelah dan rasa sakit di hati saya.”

Alasan yang dia gunakan nggak bisa gue salahkan. Rasa sakit yang disebabkan oleh kehilangan seseorang kadang nggak bisa ditanggapi hanya dengan terpuruk dan mengisolasi diri dari dunia luar. Seseorang butuh pengalihan sejenak, untuk membuat pikiran dan hatinya sibuk dengan keramaian yang lain.

Dia bisa bangun dari rasa sakit dan bisa jujur tentang apa yang dialaminya, merupakan penghargaan luar biasa menurut gue. Bukan pada posisinya kita menyudutkan siapa yang salah di sini. Hidup nggak hanya tentang putih dan hal-hal baik. Ada hitam dan hal-hal yang buruk namun harus tetap diakui sebagai bagian dari hidup. Mau seburuk apa pun kita menilai seseorang, kita akan lebih buruk kalau nggak bisa menghargai keberadaan mereka. Human for Humanity.

Setelah pertemuan malam itu, gue berteman baik dengan dia. Seringkali saat gue chat sama dia, atau di telepon, atau waktu jalan kemana gitu, dia akan cerita tentang banyak hal. Insecure attachment yang sempat gue pikirkan tentang dia, hilang diganti dengan rasa nyaman. He’s a good story teller and listener, di balik sudut kelam yang menenggelamkan dia. Gue nggak akan tahu gimana sebenarnya dia, kalau aja setelah pertemuan malam itu gue langsung menjauh. Gue nggak akan mendapatkan pelajaran berharga yang masih gue ingat sampai saat ini.

Setiap ketemu dia setelah-setelahnya, dia selalu berusaha untuk nggak merokok di dekat gue. Dia sudah mengerti dengan baik, bahwa bad habits yang dia lakukan nggak boleh mengganggu orang lain. See, dia aja mengerti, kenapa gue yang harus memandang dia nggak baik? Gue berasumsi, mungkin di pertemuan pertama waktu itu dia nggak mau menunjukkan seberapa sedihnya dia menceritakan kehilangan orang tuanya, sehingga dia menggunakan rokok sebagai stabilisator perasaannya.

Jauh ketika gue belum cukup bijak untuk memikirkan setiap sudut tentang hidup, gue nggak mau tahu gimana persoalan dalam lingkungan yang berlatar nggak baik. Dengan segala aturan dan prinsip dalam hidup gue, rasanya terlalu mustahil untuk mengambil resiko kenal dengan bad guy.

“Nanti yang ada gue malah ikut-ikutan nggak baik karena terpengaruh lingkungan mereka.” Itu yang gue pikirkan jauh sebelumnya.

Tapi sejak gue mengenal beberapa orang dengan sisi gelap yang pernah ada. Lalu ketika Den datang dengan segala kejujuran dan kebaikan yang tersembunyi dalam dirinya, gue mulai berpikir:  Enggak semua hal negatif yang kita lihat dari seseorang adalah pencerminan gimana orang itu saat ini dan kedepannya nanti.

Den mengajari gue, mengajari kita untuk nggak melihat seseorang hanya dari rekaman terburuk dalam hidupnya. Lihat alasan di baliknya. Lihat gimana seseorang mencoba untuk tetap memperjuangkan hidupnya. Lihat juga gimana akhirnya dia memutuskan untuk memperbaiki yang salah dan menjadi sosok yang baru. Ada fase yang namanya movement. Beberapa orang yang menyadari bad habits yang dia lakukan sebelumnya, melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Manusia memang nggak bisa berubah menjadi Powerrangers atau Ultramen yang di dalam cerita fiksi membela kebaikan di muka bumi. Tapi manusia bisa menjadi lebih baik bagi dirinya sendiri, itu sudah lebih cukup untuk mengambil peran dalam misi penyelamatan semesta.

Author:

Thank you for being here, in my blog. Joy, love, peace, happiness, and God's protection are my wishes for you.

Leave a comment